Dalam kitab Shahih Muslim ada sebuah riwayat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengunjungi salah seorang sahabat yang sangat memprihatinkan kehidupannya dan ketika dikunjungi oleh Rasulullah sahabat itu sedang dalam keadaan sakit sehingga tubuhnya sangat kurus layaknya anak burung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah kamu berdoa kepada Allah atau kamu meminta sesuatu kepada-Nya?” “Betul, aku mohon pada-Nya,” “Wahai Allah kalau aku mendapatkan hukuman di akhirat, maka cepatkanlah hukuman itu didunia saja,”jawabnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maha suci Allah, engkau tidak akan bisa dan sanggup. Tidakkah kamu sebaiknya berdoa, “Rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa ′adzaabannaar.”(Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan didunia dan kebaikan diakhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka). (QS. Al-Baqarah (2): 201) Setelah itu, dia berdoa demikian kepada Allah dan akhirnya segala penderitaannya hilang dan sakit yang dideritannya pun sembuh.
Ummu Salamah pernah ditanya oleh para sahabat. “Doa apa yang sering di ucapkan oleh Rasulullah?” Ummu Salamah menjawab, “Rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa ′adzaabannaar.”
Ada tujuh kriteria kebahagian dunia yang nantinya akan menghasilkan kebahagiaan akhirat yang kita idam-idamkan kalau kita memilikinya:
1. JIWA SUKUR DAN SABAR
Ada sebuah cerita yang mana cerita ini menceritakan sebuah keluarga yang dipimpin oleh suami yang kurang tampan (rupa jelek) yang mempunyai isteri yang cantik rupawan. Keluarga ini bisa dibilang keluarga yang saleh. Suatu hari sang suami berdoa kepada Allah sambil berurai air mata dan hal ini dilihat oleh isterinya.
“Kenapa abi menangis,” tanya isterinya.
“Ummi, abi berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada Allah karena abi diberi isteri yang cantik rupawan dan saleh,” jawab suaminya.
Isterinya pun menimpali, “Abi, ummi juga berdoa kepada Allah semoga dikasih kesabaran mempunyai suami seperti abi ini.”
Syukur dan sabar adalah dua hal yang saling berdampingan dalam kehidupan ini. Karena didalamnya ada anugerah dan ujian yang harus kita sikapi. Dan ini sudah menjadi sunatullah. Kadang hidup kita ini penuh dengan limpahan nikmat dan anugerah-Nya, yang harus kita sikapi dengan bersyukur kepada-Nya, sehingga kita tidak menjadi sombong. Begitupun ketika kita di uji oleh Allah dengan penderitaan, kemiskinan, sakit dan lain sebagainya. Maka, kita harus sabar menghadapinya dan bertawakal kepada-Nya, sehingga kita tidak kecewa dan putus asa.
Nikmat (anugerah) dan cobaan, ini merupakan ujian dari Allah SWT. Sampai dimana kita mampu menyikapinya dengan benar seperti yang telah dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Kalau kita mampu menyikapi semuanya maka kita akan termasuk orang-orang yang beruntung dan hidupnya pun akan bahagia.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa luas surga itu adalah seluas syukur dan sabar.
2. JODOH YANG SHALEH
Kalau kita suka membaca Al-Qur′an atau sirah-sirah nabawiyah kita akan mendapatkan gambaran keluarga, yang mana gambaran keluarga ini bisa saja terjadi di keluarga kita. Maka, apakah keluarga kita sama dengan keluarganya:
a… Nabi Nuh as., yang mana suaminya shaleh tapi mempunyai isteri yang tidak shaleh. b… Fir′aun, yang mempunyai isteri seorang mukminah yang shalehah benama Asiyah ra yang dijadikan contoh oleh Allah SWT bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana firman-Nya:
“Allah telah menciptakan satu contoh bagi orang-orang yang beriman, yaitu perempuan (isteri) Fira′un ketika ia berdoa, “Wahai Tuhanku, bangunkanlah buatku sebuah rumah yang dekat dengan-Mu di surga dan selamatkanlah aku dari Fira′un dan perbuatannya, serta selamatkanlah aku dari orang-orang yang berbuat kezhaliman.”(QS. At-Tahrim: 11)
Ia (Asiyah ra) disiksa karena keimanannya kepada Allah, dan hidupnya berakhir dengan kepulangannya ke haribaan-Nya, Akan tetapi Allah menjadikannya sebagai contoh dan panutan bagi setiap orang mukmin dan mukminah hingga datangnya hari kiamat. Allah pun memujinya dalam kitab suci, menorehkan namanya serta menyanjung amal perbuatannya. Sedangkan suaminya (Fir′aun), Allah mencela perbuatannya yang menyimpang dari jalan Allah dimuka bumi.
c… Imran, yang dipilih oleh Allah sebagai keluarga yang terbaik. Dan, sebagai penghargaan, Allah menamai satu surat dalam Al-Qur′an dengan nama keluarga ini (Ali Imran). Dan Allah menandaskan pilihan-Nya kepada keluarga ini, dengan firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ′Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing),”(QS. Ali Imran (3): 33)
Inilah contoh keluarga yang shaleh. Dari suami, isteri dan anak semuanya shaleh. Coba kita perhatikan apa yang dikatakan isteri Imran kepada Allah, ketika dia sedang mengandung anaknya, yang mana perkataannya diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya,
“Ingatlah), ketika isteri ′Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.”(QS. Ali Imran (3): 35)
Kita bisa menilai dan memilih. Jodoh (pendamping hidup) yang bagaimana, yang kita inginkan?
3. ANAK-ANAK SHALEH
Mempunyai anak yang shaleh adalah sebuah impian semua keluarga. Sebab, sukses atau tidaknya orang tua dalam mengurus keluarganya, bisa dilihat dari anak-anaknya. Keshalehan menjadi sebuah ukuran, bukan jabatan, pangkat atau harta. Sebab, kalau yang menjadi ukuran keberhasilan kita adalah jabatan, pangkat ataupun harta. Maka, yang akan terjadi adalah kekecewaan, karena merasa selalu kurang, sehingga tidak jarang, untuk mendapatkannya dengan menghalalkan segala cara. Beda dengan orang tua yang menjadikan ukuran keberhasilannya keshalehan, biarpun punya jabatan ataupun tidak, punya pangkat ataupun tidak dan punya harta ataupun tidak, masyarakat tetap akan menilai dan memuji keluarga ini karena keshalehannya.
Maka, gerbang pertama dalam usaha menshalehkan (mendidik) anaknya ada pada orang tuanya terutama ibunya.
4. LINGKUNGAN SHALEH
Seperti halnya kita mau mendirikan rumah atau mau membeli rumah, yang perlu kita perhatikan adalah yang akan menjadi tetangga (lingkungan) kita. Sebab kalau tetangga kita tidak shaleh, ini akan berpengaruh kepada kebahagiaan hidup keluarga kita.
Dalam bukunya “Berlari Menuju Allah” Abu Dzar Al-Qalamuni mengatakan, “Janganlah mengganggu tetanggamu terutama dengan meninggikan volume suara radio, sebab ada orang yang berani menjual rumahnya dengan harga murah (jauh dibawah harga pasar) demi menghindari tetangganya yang suka mengganggu, dan jahat. Hal ini pernah diungkapkan oleh seseorang sewaktu akan menjual rumahnya:
Mereka menyalahkan diriku karena menjual rumah dengan harga yang murah Tanpa mereka tahu bahwa disana ada tetangga yang kurang ajar Aku ingatkan mereka supaya tidak menyalahkan diriku Karena mahal dan murahnya rumah tergantung tetangga (disampingnya)
l-Madaini mengisahkan bahwa Fairus punya seorang tetangga yang akan menjual rumahnya dengan harga empat ribu dirham. Lalu datang kepadanya seorang yang ingin membeli rumahnya. Si penjual berkata: “Ini empat ribu dirham, adalah harga rumahku. Lalu mana harga tetanggaku?” Si pembeli bertanya keheranan: “Tetanggamu ada harganya?” ESi penjual berkata: “Pokoknya harga tetanggaku tidak kurang dari empat ribu dirham.” Hal ini didengar oleh Fairus. Lalu ia memberinya delapan ribu dirham seraya berkata: “Ini harga rumah plus tetanggamu.” Untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, maka, alangkah baiknya kalau mau membeli rumah atau mau membangun rumah terlebih dahulu dengan memperhatikan tetangga (lingkungan) ditempat rumah yang akan kita beli atau kita bangun.
5. HARTA YANG HALAL
Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah berfirman: “Semua harta Kami akan kembali kepada kita. Dengan harta orang bisa berbahagia. Dengan harta orang bisa celaka.” Diantara faedah harta benda adalah sebagai pilar ibadah dan ketaatan kepada Allah. Dengan harta, anda bisa menunaikan haji dan berjihad dijalan Allah. Dengan harta anda bisa menginfakkannya pada infak yang wajib atau sunnah. Dengan harta, anda bisa memerdekakan budak, wakaf, membangun mesjid dan lain sebagainya. Dengan harta, anda bisa juga menikah yang lebih baik daripada bersepi-sepi untuk mengerjakan ibadah sunnah.
Dengannya, akan tampak jelas sifat pemurah dan dermawan. Dengannya, harga diri bisa terjungjung tinggi. Dengannya anda bisa mencari teman dan saudara. Dngannya, orang-orang budiman bisa mencapai derajat puncak dan menuai kenikmatan dari Allah secara langsung. Harta bisa menjadi tangga yang mengantarkan pada kamar-kamar surga. Tetapi harta juga bisa menggelincirkan orang ke derajat paling rendah.
Para ulama salaf mengatakan: “Tidak ada keagungan tanpa adanya amal dan tidak ada amal tanpa adanya harta.”Sebagian ulama ada yang berdoa: “Wahai Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu yang tidak akan baik kecuali dengan kekayaan.” Harta bisa mmenjadi sarana untuk menggapai ridha Allah sebagaimana juga bisa menjadi lantaran kemurkaan-Nya.
6. MEMILIKI SEMANGAT UNTUK MEMPELAJARI AGAMA
Orang yang memiliki semangat untuk mempelajari agama, akan lebih banyak tahu tentang permasalahan agama dan pemahamanya akan lebih baik lagi dibanding dengan orang yang tidak memiliki semangat untuk mempelajari agama. Mereka, yang tidak memiliki semangat untuk mempelajari agama akan mengalami krisis pemahaman. Bisa jadi pemahaman tentang agamanya dangkal sekali, sehingga gampang dipengaruhi.
Maka patut kita renungkan firman Allah yang artinya, “Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?”(QS. Az-Zumar (39): 90). Pasti kita dapat memahaminya. Maka, oleh sebab itu, galilah ilmu sedalam mungkin dan amalkanlah, sehingga menjadi cahaya bagi diri kita dan orang lain. Dan perlu kita ketahui bahwa, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”(QS. Al-Mujadilah (58): 11)
7. UMUR YANG BARAKAH
Dalam sebuah hadits hasan Riwayat Imam Turmudzi, disebutkan sabda Rasulullah SAW. “Usia umatku berkisar anatara 60 sampai 70 tahun.” Ibnu Hajar Al-Asqalani yang mensyarah hadits Rasulullah tersebut mengatakan “Allah memberi toleransi kepada seseorang untuk menunda ajalnya sampai berusia 60 tahun.”(fathul bari 10/108)
Tak seorang pun tahu bagaimana dan kapan tempo hidupnya berakhir. Tak ada yang tahu bagaimana dan kapan tubuh menjadi payah oleh sakit. Saat ia tidak bisa lagi secara optimal melakukan ketaatan dan amal-amal saleh
Abdullah bin Mas′ud r.a. sahabat dekat Rasul pernah menangis saat menderita sakit di detik-detik akhir hayatnya. “Aku menangis karena aku justru sakit pada saat amal ibadahku berkurang, bukan pada saat aku semangat.” Umar bin Khaththab r.a. mengatakan, ′Hasibuu anfusakum qabla antuhasabuu”(berhitunglah pada dirimu sendiri, sebelum engkau dihitung di hari akhir). ′Kafa bi syaibi wa izan′(cukuplah uban di kepala itu menjadi peringatan).
Begitulah filosofi para salafushalih untuk mengingat dekatnya waktu “panggilan”Allah SWT., sehingga umurnya menjadi berbarakah.
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang berbahagia di dunia dan di akhirat kelak. Amin.
“Rabbanaa aatinaa fiddun-yaa hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa ′adzaabannaar.”
Wallahu A′lam
sumber:rhobie99.multiply.com